Jalan Sunyi yang Membawa Bahagia
Di sebuah desa kecil, terdapat sebuah jalan sunyi yang jarang dilalui orang. Jalannya sempit, diapit pohon bambu dan sawah yang luas. Siang hari terasa teduh, malamnya hanya ditemani suara jangkrik dan gemericik air dari sungai kecil di pinggirnya.
Bagi sebagian orang, jalan itu sepi dan membosankan. Namun bagi Diwa, seorang gadis sederhana yang tinggal di ujung desa, jalan sunyi itu adalah sahabatnya. Hampir setiap sore ia melewati jalur itu sepulang dari sekolah. Di sana ia bisa merenung, melepaskan penat, dan menata hatinya.
Suatu sore, Diwa melihat seorang pemuda duduk di bangku bambu yang sudah lapuk. Pemuda itu tampak lelah, membawa tas besar dan sepatu penuh tanah merah. “Kamu siapa?” tanya Diwa dengan ramah.
“Aku Arka. Baru pulang dari merantau. Rasanya tidak ada tempat yang lebih menenangkan selain jalan ini,” jawabnya.
Sejak hari itu, Diwa dan Arka sering bertemu di jalan sunyi. Mereka berbagi cerita—tentang mimpi, kegagalan, juga harapan. Perlahan, jalan yang tadinya sepi berubah menjadi ruang pertemuan yang hangat dan menenangkan
Musim berganti, sawah menghijau lalu menguning. Diwa dan Arka semakin akrab. Dari obrolan sederhana hingga rencana masa depan, semua mengalir tanpa beban. Jalan sunyi itu menjadi saksi bahwa kesepian bisa berubah menjadi kebahagiaan ketika ada teman untuk berbagi.
Beberapa tahun kemudian, ketika bunga-bunga bermekaran di sepanjang tepi jalan, Arka menggenggam tangan Diwa. “Jalan ini dulu sepi. Tapi sejak ada kamu, tak ada lagi yang terasa sunyi. Maukah kamu menemaniku, selamanya?”
Diwa tersenyum malu-malu, matanya berbinar. “Ya, aku mau.”
Sejak hari itu, jalan sunyi tidak pernah benar-benar sunyi lagi. Ia menjadi simbol cinta, persahabatan, dan kebahagiaan. Tempat sederhana yang menyimpan cerita indah, bahwa dalam kesepian pun, selalu ada harapan untuk akhir yang bahagia.