Suratmu telah aku terima dan aku baca, terasa perih tak kuasa aku
menahan deraian airmata, terlambat aku mengetahuinya. Ternyata cintamu
sangat besar dan tak berubah semenjak pertama kita bertemu. Begitupun
denganku, dan asal kamu tahu, aku mencintaimu dari pertama kita bertemu
dan jujur saja aku selalu menunggu kata kata-kata cintamu untukku
keluar dari mulutmu.
Hari ini bersama seikat
mawar aku kembali mengunjungi tempat peristirahatan terakhirmu. Tak lama
setelah kematianmu, aku berusaha menelusuri jejak masa lalumu, hingga
dari petunjuk terakhir orang yang pernah mengenalmu, akhirnya aku sampai
di hadapan orang kepercayaanmu yang engkau titipi surat buatku.
Lima
tahun telah berlalu, semenjak pertemuan kita yang terakhir di warung
kopi itu, tempat dimana kita biasa meneguk secangkir kopi susu berdua
sambil berkata, "Persetan dengan orang-orang di sekeliling kita yang
selalu menatap aneh ke arah kita berdua."
Jujur
saja aku masih berharap engkau datang menemuiku. Hari demi hari hingga
tahun berganti tiada kabar darimu, hingga Yudha, orang yang pernah
berkelahi denganmu itu datang kerumah orang tuaku untuk melamarku.
Hari-hari pertamaku membina rumah tangga bersama Yudha pun aku masih
saja terus berharap, semoga suatu saat aku masih bisa bertemu denganmu.
Jujur
aku tak pernah mencintainya. Aku menerima Yudha atas desakan
orangtuaku, mereka jengah dengan omongan orang, anak gadisnya perawan
tua. Andai engkau tahu, hingga Yudha telah berhasil memberikanku dua
orang buah hatipun aku masih berharap engkau yang datang menemuiku.
Setelah
kepergianmu, hari demi hari aku masih selalu datang ketempat dimana
kita terakhir bertemu dulu, dengan harapan kamu akan kembali datang
menemuiku di tempat itu. Hingga satu hari sebelum menikahpun aku masih
mengharapkan kedatanganmu di tempat ini. Tapi hingga acara pernikahan
dengan Yudha selesai, engkau menghilang seperti di telan Hantu. Engkau
menghilang tanpa aku tahu sebabnya, aku sering mencari kabar dengan
menemui orangtua dan adik-adikmu, tapi ternyata merekapun sama
sepertiku, mereka juga kehilangan jejakmu.
Tanpamu,
aku hidup bersama dengan lelaki yang tidak pernah bisa menggantikanmu
di dalam hatiku, saat itu aku hampir putus asa karena masih terus
berharap bisa hidup bersamamu. Pada saat melahirkan anak pertamaku, saat
aku mengalami pendarahan yang hebat, jujur saja saat itu aku berharap
agar Tuhan segera mencabut nyawaku. Karena waktu itu aku berpikir bahwa
mungkin itu adalah satu-satunya jalan agar aku bisa kembali bertemu
denganmu.
Tak lama setelah Yudha pergi
meninggalkanku selamanya, tiba-tiba saja kamu kembali menghubungiku. Aku
masih tidak percaya saat itu. Saat pertama kali kembali mendengar
suaramu. Saat pertama kali aku mengangkat panggilan dari nomor telepon
yang tidak aku kenal itu.
Jujur saja aku kaget
saat pertama kali kembali bertemu denganmu, setelah 21 tahun berlalu
tidak pernah ada kabar darimu, sepertinya kamu tidak terlalu kaget
dengan penampilanku. Saat pertama kali kamu melihat gadis tomboymu itu
memakai kerudung, Aku tahu bahwa saat itu engkau hanya bercanda, saat
bertanya apakah aku hendak pergi ketempat pengajian? karena dari raut
wajahmu, aku tahu bahwa engkau sepertinya begitu tahu dengan perubahanku
itu.
"Engkau masih cantik di mataku, seperti 21 tahun yang lalu," katamu waktu itu sambil tersenyum menatapku.
Jujur
aku salah tingkah mendengarnya waktu itu, beruntung saat itu ada banyak
pengunjung di dalam warung kopi, di tempat kita biasa duduk pada 21
tahun yang lalu. Pipiku merona merah waktu itu.
Setelah
terjadi penembakan di depan mataku, saat memeluk tubuh bersimbah
darahmu, masih dengan darah yang keluar dari mulut dan hidungmu, saat
itu kamu berusaha meminta maaf karena telah meninggalkanku. Sambil
menjerit dan terus menciumi bibirmu aku terus berteriak memanggil
namamu.
"Aku mencintai. Aku mencintaimu! Jangan tinggalkan aku..." rintihku sambil memeluk kepalamu di atas pangkuanku.
Saat
itu aku meraung keras sambil mendekap tubuhmu, aku tak peduli darahmu
membasahi baju dan wajahku, aku tak peduli bau amis darah di wajahmu,
aku terus menciumi wajahmu. Aku mendekapmu sepenuh jiwa, tak ingin
lepas, aku berontak saat mereka menarik tubuhku agar melepaskan
pelukanku di jazadmu.
Tak lama setelah itu aku
tak sadarkan diri, dan yang terakhir aku ingat adalah ketika tubuhku
ditarik paksa oleh Pasukan Khusus berlambang Burung Hantu dengan seragam
hitam dan selalu memanggul senapan serbu saat mereka berusaha
melepaskan pelukanku di tubuhmu.
Semenjak
kematianmu aku tidak pernah berhenti mencari tahu masa lalumu, hingga
satu persatu misteri tentang jejak masa lalumu itu mulai terbuka satu
persatu, aku bertemu dengan orang kepercayaanmu yang pernah engkau
titipi surat buatku.
Di tempat yang terpencil,
setelah membaca isi suratmu, akhirnya aku tahu ternyata selama ini
engkau tidak pernah benar-benar pergi jauh dariku.
Aku
tinggalkan kota kelahiran kita, di tempat baru, tidak jauh dari tempat
peristirahatanmu yang terakhir, aku ingin memulai hidup baru. Aku bawa
serta anak-anak tinggal di kota tempat di mana jazadmu ini dimakamkan.
Aku ingin jika suatu saat aku pergi menghadap Tuhanku, aku ingin jazadku ini di makamkan di sebelah makammu.
Bagiku
engkau adalah lelaki bermata teduh, lelaki pembelaku, cintaku tak
pernah luntur sama seperti dulu awal kita bertemu, dimataku engkau bukan
seorang teroris, sebab aku percaya, engkau lakukan itu karena keadaan
dan nasib yang terkadang tidak memihakmu.
Aku
tahu bahwa dari dulu kamu tidak pernah mau menjadi adikku. Di samping
batu nisan makammu, di rumah peristirahatan terakhirmu. diantara
hembusan angin yang menggugurkan bunga kamboja di sekitar makammu, saat
ini aku hanya ingin mengatakan bahwa akupun tidak pernah menganggapmu
adikku, karena jujur saja akupun tidak mau punya adik sepertimu, karena
aku ingin menjadi kekasihmu. Selamanya, karena engkau adalah cinta
sejatiku
-Selesai-
ADSN, 110719
Catatan : Cerpen ini di buat oleh, Apriani Dinni sebagai balasan cerpen milik Warkasa1919 yang berjudul Surat dari Masa Lalu.