Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

DomaiNesia

Ketika Lelakiku Berkata

Imajinasi Tanpa Batas

Ketika Lelakiku Berkata

Lihatlah senja telah tiba, langit memerah di ufuk sana, tangga langit samar terlihat, para bidadari turun dari khayangan, begitu anggun dan memukau. Aku terpesona melihat kecantikan mereka, wajahnya bak pualam dengan mata bak lentera. 

Aku terdiam saat para bidadari memakaikanku baju merah marun, baju yang terasa halus dan ringan seperti udara, tubuh ini terasa ringan, para bidadari menarik lenganku dengan lembut, mengajakku ikut bersama mereka, terasa dikulit ini tangan lembut menarikku pelan, aku langkahkan kaki secara perlahan.

Bibir mungil mereka berbisik, di atas langit kehidupan terasa hening dan damai sebab  tak ada iri dengki, tak ada penghianatan, tak ada mata-mata liar menguliti tubuh, tak ada mulut-mulut usil berbisa.

Mereka menarikku pelan, aku sudah muak dengan sandiwara dunia, muak dengan kemunafikan, aku lelah teramat sangat, aku langkahkan kaki mengikuti mereka, senyum bahagia terpancar di wajah mereka, kaki telanjangku melangkah perlahan menginjak hamparan awan yang bertebaran bagai kapas.

Anak tangga terbuat dari emas bersinar terang, terlihat semakin dekat, baju bidadari berwarna-warni beterbangan tertiup angin, mengusap halus pipi ini, mereka membawaku sambil tersenyum. 

Aku menaiki anak tangga satu persatu, tiupan angin terasa damai, aku melihat di atas langit, sebuah kehidupan penuh senyuman dengan tatapan ramah, baju mereka putih bersinar. Aku takjum melihatnya, begitu terlihat sempurna dan damai. 

Ketika kaki ini melangkah ke pintu langit, sepasang tangan kokoh menarikku, menahan langkah kaki ini, aku melihat ke bawah, sepasang mata tajam seolah memohon padaku, ia menarik tanganku agar aku turun dari tangga. 

Pintu langit terbuka lebar, para bidadari menatapku penuh kelembutan, tangan mereka masih mencengkeram tanganku, berusaha menarikku ke atas. 

Tangan kokoh itu masih menahanku, aku melihat genangan dikedua matanya, 24 Purnama dilewati bersama, ia tak suka ada air mata mengalir dikedua pipi ini, setiap pertemuan dihiasi senyuman, tapi kini aku melihat air mata jatuh dikedua pipinya, memohon agar aku turun dari tangga langit. 

Aku menatap ke para bidadari, aku lepaskan tanganku dari cengkeraman mereka, tugasku di dunia belum usai, belum saatnya aku menikmati dan hidup bersama mereka, biarlah saat ini aku menghadapi pernak pernik dunia. 

Mulut lelakiku tersenyum melihat aku turun dari anak tangga, aku usap aliran yang turun dari kedua matanya, aku kecup perlahan sampai kering  genangan  dari kedua mata itu, matanya adalah cahayaku, tak ingin aku melihat mata itu berkabut. 

Aku sadar belum saatnya aku dan engkau pergi, tugas di dunia belum tuntas, membangunkan anak-anak manusia yang tertidur lelap. Menghadapi rintangan bersama, saling menggenggam dan menghalau semua aral melintang, dua nyawa ini akan selalu bersatu. 

Ketika Lelakiku berkata itulah titah bagiku karena engkau  adalah rajaku. 

ADSN1919

 

 Kembali

Halaman
1

 © 2020-2023 - Rumahfiksi.com. All rights reserved

Rumah Fiksi 1919
Rumah Fiksi 1919 Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan
www.domainesia.com