Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

DomaiNesia

Ternyata Sulit Menjadi Orang Baik

Imajinasi Tanpa Batas

Ternyata Sulit Menjadi Orang Baik

Aku ingin bercerita tentang kisah seorang teman yang selalu curhat padaku, atas seijinnya, kisah hidupnya itu kutulis dan tayangkan di blog ini.  

Imelda begitu Aku sering memanggilnya. Semoga kisah tentang Imelda ini bisa menjadi bahan pelajaran dan kita bisa mengambil hikmahnya, bahwa setiap perjalanan hidup manusia itu berbeda, ada yang berlimpah harta dan ada yang serba kekurangan. 

Di ibaratkan suatu jalanan, terkadang perjalan hidup seorang anak manusia itu akan melewati jalan yang lurus dan ada pula yang harus melewati jalanan yang berkelok-kelok dahulu sebelum tiba di tujuan. 

Kisah ini sengaja aku tuliskan adalah agar khususnya diriku pribadi bisa belajar dan selalu ingat agar kita  tidak gampang menghakimi seseorang, apalagi tanpa kita mengetahui perjalanan hidupnya.


Sebelum kisah ini kutayangkan di tempat ini, draft awalnya sudah kuberikan pada Imelda dan setelah kupoles ulang disana sini dan disetujui oleh Imelda, akhirnya kutayangkan di rumahfiksi.com ini. 



*

Pagi hari setelah hujan, seharusnya udara terasa dingin, tapi Aku merasa gerah setelah mendengar Imelda menceritakan kegundahan hatinya. 

Pukul 06.30 WIB Imelda sudah duduk di kursi yang berada di kantorku. Aku kaget melihatnya karena datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Setelah Aku absen terlebih dahulu ke kotak hitam yang merekam sidik jari, Aku duduk di sampingnya.

Tanpa basa-basi terlebih dahulu, Imelda langsung bercerita tentang kegundahannya. 


"Dania, apakah menjadi orang baik itu sulit?" katanya sambil menatapku. 

"Maksudnya bagaimana?" tanyaku tak paham. 


Imelda tidak menjawab, Ia menangis sambil memelukku. Aku biarkan Ia menangis dalam pelukanku, sampai Ia berhenti sendiri. 

Aku menyodorkan air mineral padanya, Ia meminum secara perlahan, setelah tenang Ia mulai bercerita. 


"Dania, saya merasa dunia tidak adil pada saya, dari kecil saya hidup kurang kasih sayang, saya tidak mengenal siapa orang tua saya. Sebelum menikah karena putus asa, mencari kerjaan tidak kunjung dapat, sedang perut perlu diisi. Dalam kekalutan, saya menerima tawaran mami Marni dan dikenalkan pada om Rendy. Semenjak itu saya seperti piala bergilir, siapapun bisa menikmati tubuh ini asal ada imbalan," Imelda menghela nafas seolah ingin mengeluarkan beban berat di hidupnya. 

Aku hanya bisa diam, tidak berani bertanya. Setelah terdiam beberapa menit Imelda melanjutkan ceritanya. 

"Saat itu, uang berlimpah dan saya bisa membeli rumah dan mobil, tapi hati terasa kosong,  hati ini terasa gersang, hampir 10 tahun saya menjalani hidup seperti ini,"  Aku melihat mata Imelda mulai berkaca-kaca, Aku usap punggungnya, kembali Ia menghela napas. 

"Dania, Tuhan mengingatkanku lewat mimpi. Tengah malam saya bermimpi kematian, saya  melihat orang-orang dalam neraka, tubuhku merasakan hawa sangat panas, padahal jarak tempat saya berdiri sangat jauh. Saya mendengar jeritan minta tolong, tapi tak ada yang menolong. Jeritan mereka terdengar pilu dan rasa sakit teramat sangat, tubuh ini menggigil mendengarnya. 


Saya terbangun dengan badan basah kuyup bermandikan keringat, jujur saya takut mati dalam keadaan maksiat. Di sepertiga malam saya mandi ingin membersihkan tubuh ini dari kotoran dan untuk pertamakalinya saya jijik melihat tubuh ini. 

Untuk pertamakalinya saya solat isya dilanjutkan solat tahajud, saya menangis sejadi-jadinya memohon ampun dan saya bertekad meninggalkan dunia malam. 


Pagi harinya, saya menemui mami Marni, dan sudah bisa diduga, mami Marni marah dan memukuli tubuh ini, badanku babak belur, saya hanya bisa menangis dan beristighfar, Allah Maha Penolong, entah kenapa mami Marni sakit perut dan berlari ke kamar mandi, dengan mata kabur penuh darah dan ditolong teman-teman seprofesi, saya dibawa keluar dan dipanggilkan becak, saya hanya menyebutkan nama masjid yang saya ingat, sampai di masjid saya tidak sadarkan diri. 

Ketika siuman saya berada di Rumah Sakit Adinda, ditolong oleh jamaah di sana. Karena saya tidak bisa membayar Rumah Sakit atas bantuan seorang Dokter saya dibebaskan membayar biaya Rumah Sakit dengan syarat saya bekerja di sana tanpa di gaji, hanya mendapat makan tiga kali sehari dan saya boleh tinggal di asrama Rumah Sakit tersebut.


Saya mulai menjadi OB bantu-bantu administrasi di Rumah Sakit Adinda. Apapun saya kerjakan asalkan itu halal, meski tidak mendapatkan gaji karena gaji saya untuk membayar Rumah Sakit, saya sering mendapat tip dari para dokter dan pengunjung Rumah Sakit. 

Sampai akhirnya ada seorang pria mempersuntingku, pria masih muda yang menunggu ibunya sakit dan saya sering memandikan dan menghibur ibunya, sampai ibunya sembuh total setelah hampir tiga tahun sakit parah dan sering bolak balik ke Rumah Sakit. Lelaki itu terkesan padaku dan memintaku untuk menjadi pendamping hidupnya. 

Singkat cerita, hampir satu tahun saya menikah dengan lelaki itu. Rio nama suami saya, dia tau masa lalu saya dan menerima dengan tangan terbuka. 


Suatu hari Rio marah besar, ketika saya dan Rio mengadiri acara kantor. Saya bertemu dengan salah satu  langgananku,  saat saya masih menjadi anak buah mami Marni. Dengan suara keras dan penuh ejekan laki-laki itu menceritakan ketika saya menjadi kupu-kupu malam, laki-laki  itu mengejek Rio yang mau menikahi saya. Seisi ruangan mentertawakan Rio dan ikut menghina Rio. 

Alhasil ketika sampai rumah, Rio marah besar, rentetan hinaan ditudingkan padanya, kata-kata wanita pelacur keluar dari mulut Rio, dan mengatakan penyesalan menikahinya, kata-kata yang paling menyakitkan ketika Rio bilang Ia hanyalah barang bekas dan pura-pura taubat. 

Hati saya hancur mendengar makian Rio, padahal sebelum menikah Rio tau masa lalu saya, malam itu saya diusir dari rumah Rio. 


Dania, apakah seorang bekas kupu-kupu malam tidak berhak bertaubat? Tidak berhak menjadi orang baik? Mengapa orang-orang masih mencap saya buruk? Kenapa terasa sulit menjadi orang baik?" 


Bahu Imelda terguncang hebat, mulutku tergugu, tak sanggup untuk mengatakan apapun. Aku biarkan Imelda menangis. Aku berbisik padanya. 


"Jangan risau dengan pandangan manusia, sahabatku, risaulah di mata sang Pencipta, Aku tau, Tuhan mendengar taubat umatnya, jangan takut penilaian manusia, tetaplah menjadi Imelda yang sekarang, Aku mohon jangan kembali ke masa lalu, meski jalan saat ini terasa berat. 


Bukankah manusia mendapatkan ujian sesuai porsinya? Jangan terlalu berharap pada manusia untuk menilai kita baik, cukup Tuhan yang mengetahuinya. Jangan lemah sahabatku, memang tidak mudah menjadi dirimu, karena orang yang tidak suka pasti selalu mengkaitkan dengan masa lalumu, percayalah kamu pasti kuat."


Imelda terdiam dan mengusap air matanya, Aku tau Ia sangat kecewa dengan sikap Rio yang tidak membelanya ketika Ia di permalukan dan malah mengusirnya. Tiba-tiba dengan suara serak Imelda berbisik, 


"Dania, bawa saya ke pesantren, saya akan habiskan usia saya di pesantren dan saya tidak mau melihat dunia luar yang dirasa begitu kejam, biarlah saya mengabdi di pesantren khusus anak yatim piatu. 


Dunia luar tidak bisa menerima taubat saya, karena mereka masih memandang sebelah mata pada saya, begitupun suami saya tidak bisa menerima saya seutuhnya, saya tidak mau dihina dan dicaci maki lagi karena masa lalu saya, anggap nama Imelda dan masa lalunya sudah mati, biarlah orang menyebut saya Aisyah."

Itulah terakhir kali Aku melihat Imelda tanpa hijab, keesokan harinya Aku dan suamiku mas Arka, mengantar Imelda ke sebuah pesantren di kaki gunung yang khusus menerima santri yatim piatu. 


Imelda semoga kamu teguh dengan taubatmu, meski rintangan selalu ada, bisikku dalam hati. 


Dalam mobil Aku menangis,  ketika melihat Imelda yang sekarang berganti nama Aisyah, dipeluk anak-anak yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu.  Mas Arka mengusap air mataku dan mengecup bibirku pelan serta memelukku menenangkan Aku, 


"Mas akan selalu ada untukmu sayang, sampai ajal menjemput."


Adsn1919

 

 Kembali

Halaman
1

 © 2020-2023 - Rumahfiksi.com. All rights reserved

Rumah Fiksi 1919
Rumah Fiksi 1919 Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan
www.domainesia.com