Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

DomaiNesia

Wabah Badut 1

Imajinasi Tanpa Batas

 Wabah Badut 1

Oleh : Wahyu Arshaka

 

Seusai Maghrib aku baru bisa berkemas untuk pulang kerja. Komputer kumatikan, tumpukan kertas yang tertera deretan data pembelian aku masukan ke dalam laci dan kukunci, kertas ini bila hilang satu saja sudah cukup membuat hidupku di ujung tanduk. Lalu setelah yakin semuanya rapi, barulah aku beranjak bangkit. Namun baru saja mau melangkah, tiba-tiba dikejutkan dengan sesosok badut yang lewat, badut berkepala anjing berwarna hitam.

Keherananku semakin bertambah saat melihat Rego, teman satu ruanganku, hormat menundukan kepala pada badut itu.

            “Memangnya siapa badut itu! Kamu kok memberi hormat!”

            Rego memandangku heran, “Badut! Kebanyakan input data kamu tuh, masa Pak Gorba, bos kita kamu lihat jadi badut !”

            “Aku serius loh!”

            Rego tertegun sambil menyapu pandang sekeliling, ”Buruan kita keluar, sepertinya pintu alam astral sudah terbuka!”

            Rego pun bergegas keluar, aku pun mengikuti dengan setengah berlari. Setelah berada di luar malah semakin membuatku dirajam kebingungan, ternyata banyak sekali orang-orang yang menjadi badut. Namun aku berusaha meredam segala kebingungan yang kurasakan, menceritakan pada Rego pun percuma, pasti dia tak akan percaya dan menganggapku mengalami halusinasi akibat tekanan pekerjaaan atau aku sudah memasuki alam astral.

            Di dalam angkot yang membawa kami ke statsiun kereta pun, penuh dengan badut bahkan Pak Sopirnya menjadi sesosok badut berwajah kera. Aku hanya bisa berdo’a sebisanya dan meyakini kalau semua ini hanyalah halusinasi akibat beban kerja yang akhir-akhir ini terasa berat. Namun ternyata tidak berhasil, di statsiun orang-orang yang telihat menadi badut malah semakin banyak, tapi sepertinya mereka tak merasakan kalau sudah menjadi badut.

            Sementara Rego terlihat sibuk dengan telpon genggamnya, seperti biasa istrinya menelpon menanyakan posisi sudah dimana, jam berapa sampai rumah dan belikan martabak ketan hitam dan goreng ubi. Tidak seperti dulu waktu pacaran, Rego akan terlihat senang berbincang di telpon selama perjalanan dengan pacarnya yang kini jadi istrinya itu. Kini dia nampak kesal, menjawab dengan kalimat-kalimat singkat dan akhirnya bilang “Sudah dulu ya!” dan selang beberapa saat istrinya nelpon lagi menanyakan sudah nyampe mana.

            Padahal Rego baru saja menikah, sekitar tiga bulan. Namun hari-harinya sudah penuh keluh kesah akan ketidak pahamannya akan sikap istrinya. Tentang instrinya yang marah karena dia lupa membeli martabak, beli martabak tidak sesuai pesanan yang diminta, telat pulang, lama membalas WA, nganter aku beli buku dah hal lainnya yang bagi Rego itu hal sepele yang nggak logis kalau harus ditanggapi dengan marah. Menanggapi segala keluh kesahnya itu, aku hanya bilang.

            “Wanita itu memang seperti matematika, sulit dimengerti tapi akan terlihat indah kalau kita bisa memahaminya.”

            Dan Rego pun tersenyum kecut sambil garuk-garuk kepala dan aku pun tertawa lepas melepaskan beban yang sama.

***

            Setelah selama perjalanan bertemu banyak badut yang beraneka rupa, dari berwajah binatang, tokoh kartun sampai tokoh wayang seperti Durna dan Sengkuni. Akhirnya aku sampai juga di rumah dan terlepas dari wajah badut-badut itu. Lalu Setelah mandi dan makan barulah aku ceritakan soal badut itu sambil nonton televisi, aku harap istriku percaya dan memintaku agar tidak banyak pikiran atau ngajak nonton utuk melepaskan penat. Namun tanggapannya di luar dugaaan.

            “Iya kalau orang lain terlihat berubah menjadi badut! Tapi kalau si Salama tetap terlihat seperti waktu es em a dulu, makanya mas ikutan reuni kemarin!”

            Rupanya api cemburunya belum redup, terpaksa aku memilih diam dan pergi ke teras sambil membawa secangkir kopi. Duduk berteman nyamuk liar yang silih berganti nempel ke kulit, jangkrik dan kodok suaranya laksana simfoni malam yang membuat otakku dipenuhi ribuan kutu. Sepertinya aku harus pergi ke psikiater, mungkin saja ada salah dengan otaku bahkan jiwaku hingga mataku melihat orang-orang berubah menjadi badut. Untung saja istriku tidak!

 

 

 

 

 Kontributor

 © 2020-2023 - Rumahfiksi.com. All rights reserved